" A different world can not be created by indifferent people, be different in the best way of possible and together we can make a difference! "

Wednesday, August 18, 2004

ORIENTASI PENULISAN



42 siswa SMUN 02 Makassar yang tergabung dalam Kelompok Ilmiah Remaja (KIR) mengadakan Orientasi Penulisan bekerja sama dengan Rumah Kamu, 13 Agustus 2004. Kegiatan ini adalah rangkaian pendidikan dasar di KIR SMUN 02. Rumah Kamu dalam acara tersebut bertindak sebagai fasilitator; aan, ary, anna, dan isda.

Peserta yang rata-rata siswa kelas 1 ini sangat antusias mengikuti acara berdurasi 2 jam, meskipun sebagian besar mereka belum makan siang.

"Jangan percaya teori menulis, hanya dengan menulis orang bisa menjadi penulis, tidak ada jalan lain!"

Monday, August 16, 2004

DINAMIKA KELOMPOK



"Lelah tapi asyik..." "Ringan tapi sarat makna..." Itulah sebagian penuturan peserta Pelatihan Pembekalan Peserta Program Pertukaran Pemuda Antar Propinsi (PPAP). Pelatihan yang diselenggarakan oleh Diknas Sulawesi Selatan ini berlangsung pada 13 - 18 Agustus 2004 di LEC Antang Makassar. Peserta, yang terdiri atas 23 orang, aaadalah wakil dari setiap kabupaten yang mewakili Sulsel dalam PPAP tersebut.
Tim Fasilitator Rumah Kamu diundang untuk memandu sesi dinamika kelompok pada hari pertama. sebagai hidanga pembuka, fasilitator merancang proses pembelajaran yang mencakup eksplorasi diri, kerja sama, serta persepsi dan realitas. kesemua isu ini disampaikan dalam bentuk permainan. Tak heran selama sesi berdurasi 6 jam ini pun, suasana ruangan pun riuh rendah, bak kapal pecah. Selamat Jalan para peserta PPAP! Berpetualanglah ke tempat baru, dengan teman baru, dalam suasana serba baru...

Tuesday, August 10, 2004

Sekolah Para Petualang atawa Akademi Bukan Fantasi

Oleh: Nurhady Sirimorok



“Saya kira perkenalannya sama seperti di acara-acara lain. Satu persatu berdiri kemudian mengucapkan ‘Nama saya A, dari sekolah B, dan seterusnya.’ Ternyata di sini caranya lain.”

Mungkin ini cukup menarik, karena kutipan ini tertulis pada jurnal seorang siswi SMU yang sudah berpengalaman mengadakan atau mengikuti berbagai kegiatan pelatihan. Apakah cara perkenalan memang cuma satu? Hal kedua yang menarik adalah kutipan yang sama juga ditulis peserta kegiatan ini tahun lalu, padahal mereka belum pernah bertemu, apalagi berdiskusi tentang kegiatan ini. Seperti apakah kegiatannya?

Pertemuan Pertama

Pagi, 3 Januari 2004. Terlihat satu persatu siswa-siswi SMU datang ke Kantor Pendidikan Nasional Propinsi Sulawesi Selatan. Begitu matahari semakin meninggi, jumlah mereka pun kian bertambah. Hari itu, tidak satupun di antara mereka mengenakan pakaian sekolah. Mereka berpakaian casual sambil menenteng tas besar-besar. Dan hari itu, tak ada seorang pegawai Dinas Pendidikan pun yang menegur mereka karena itu adalah hari libur. Nampak wajah-wajah gugup, atau berusaha tenang. Mereka tidak begitu banyak berbicara ketika baru datang. Namun kesunyian itu, itu segera luntur ketika mereka saling memperkenalkan diri.
Akhyar, seorang peserta, datang tergopoh-gopoh. Ia kira sudah terlambat. Dengan wajah tegang, ia memasuki lobi kantor sambil melirik kanan-kiri, entah mencari apa. Ketika saya memanggilnya, dan memberi perlengkapan dan jadwal, baru dia terlihat tenang. Perlengkapan itu semua terhimpun dalam sebuah map plastik. Di dalamnya ada bloknote, pulpen, jadwal, peta desa yang akan didatangi, daftar keluarga angkat. Oleh panitia, semua informasi diberikan sedapat mungkin dalam bentuk tertulis agar mereka mulai memanfaatkan informasi tertulis. Menggunakannya di dunia nyata.
Meski sudah ada yang saling kenal dan tahu jadwal, namun wajah sebagian dari mereka masih agak tegang.
Mereka adalah peserta Youth Camp 2004. Program ini adalah tahun kedua, setelah tahun lalu —pada bulan yang sama— diadakan di Desa Marana Kabupaten Sinjai. Jika boleh membandingkan, peserta tahun ini kelihatan lebih mandiri. Rupanya, panitia telah bekerja baik untuk mensosialisasikan Youth Camp.
Mengenai sosialisasi, ini punya cerita lain. Panitia harus keliling ke 25 sekolah di Sulawesi Selatan, untuk menyampaikan surat, pamflet dan poster, ke pihak sekolah, kalau perlu ketemu langsung dengan guru atau ketua OSIS. Di 17 sekolah —yang menerima baik— mereka bahkan mengadakan presentasi. Secara keseluruhan panitia mengirim informasi kegiatan ini ke 20 Kabupaten/Kota.
Sosialisasi ini bukannya tanpa hambatan. “Pernah kami kirim paket berisi surat, pamflet, poster dan formulir, lewat pos dengan menggunakan amplop Diknas. Ketika dicek ke Diknas Kabupaten. ternyata mereka belum menyampaikannya ke sekolah. Bahkan sebagian mengaku tidak tahu menahu keberadaan surat itu sama sekali,” keluh Armin salah seorang panitia. “Bahkan di beberapa sekolah, terutama yang terbilang top, kami tidak diberi izin presentasi sama sekali.”
Kerja keras panitia juga ditunjang para alumni Youth Camp tahun lalu. Mereka banyak cerita pada adik-adiknya tentang kegiatan ini. Sehingga si adik merasa lebih percaya diri. Selain itu, “Orang tua sudah mendapat informasi yang cukup tentang kegiatan ini. Tahun lalu, saking khawatirnya, ada orang tua yang mengantarkan anaknya hingga naik ke bus,” ungkap Ary, salah seorang fasilitator kegiatan ini.
Abdullah Jabbar, Kepala Sub-Bidang Pembinaan Generasi Muda, menyampaikan sambutan sebelum berangkat ke Local Education Centre (LEC) yang terletak di bilangan Antang, Makassar. Pegawai Diknas yang satu ini cukup banyak membantu panitia. Bahkan, dia berbaik hati menyediakan mobilnya dan menyetir sendiri, untuk mengangkut sebagian dari peserta ke LEC.
Sebelum naik mobil. peserta dihitung. Ternyata kurang satu. “Sekarang sudah jam 8.10, berarti sudah terlambat sepuluh menit. Tinggalkan saja!” Maka berangkatlah seluruh peserta dengan dua Pete-pete (sebutan angkutan kota di Sulawesi Selatan) dan dua Kijang.
Sebenarnya jumlah peserta ada 25 orang. Hasil dua kali seleksi. Pada seleksi berkas, panitia memeriksa 160 formulir, kemudian meluluskan 59 orang untuk diwawancarai. Karena peserta yang bisa diterima sangat terbatas, hanya 25 orang yang bisa diterima. Dua orang tidak bisa ikut karena sekolah sedang mengadakan ulangan, dan tidak mengizinkan mereka pergi. Jadilah 23 orang peserta saja. Dan pagi itu baru 22 yang terkumpul.

Pelajaran dari Antang
“Kamar kita diserobot”, lapor Ary begitu rombongan tiba di LEC Antang. Dia naik pitam. “Harusnya kamar kita di lantai 2. Supaya lebih mudah, karena ruang aula yang kita gunakan juga di lantai 2. Tadi malam semua nama sudah kita pasang di pintu. Siapa yang cabut?” sungut Ary kepada salah seorang pengelola yang baru masuk pagi itu.
Tempat ini adalah kompleks dengan ruang tidur dan aula, sangat cocok untuk acara yang membutuhkan tempat menginap, seperti pelatihan dan rapat-rapat. Karena itu, tempat ini menjadi langganan organisasi mahasiswa.
Dari cerita berbagai sumber saya akhirnya dapat mengerti kronologinya. Petugas kebersihan malam tiba, dia tidak mendapat informasi lengkap dari petugas sebelumnya. Dia mencabut seluruh nama yang ditempel di semua pintu di lantai 2, mengira nama itu sudah tidak berlaku lagi. Tak lama berselang, datanglah pengurus organsasi mahasiswa yang sudah daftar sebelumnya, untuk memilih tempat bagi peserta kegiatan mereka. Maka, pengelola hanya bisa minta maaf, mana mungkin mereka memindahkan mahasiswa. Takut berurusan dengan mahasiswa.
“Baiklah, kita tak punya banyak waktu berdebat. Acara sudah terlambat, seharusnya dimulai sepuluh menit lalu. Berikan saja kunci lantai satu, kita tidur di sana. Acara harus segera di mulai” tutup Ary. Anna, sang Koordinator kegiatan, segera memerintahkan para peserta menaruh barang di kamar masing-masing dan segera naik ke ruang aula.
Acara pertama diisi sesi perkenalan.
“Kalian lemparkan bola ini ke teman yang lain. Sebelum dilemparkan sebut dulu namanya. Makanya tulis nama kalian besar-besar di karton itu, baru ditempel ke dada.” Asry, salah seorang fasilitator, memberi instruksi. “Kakak panitia juga harus ikut”. Peserta dan panitia yang berdiri melingkar mulai melempar gumpalan koran yang dibentuk seperti bola (Bola sebenarnya yang dipersiapkan untuk acara ini tertinggal di sekertariat. Ary merasa sangat bersalah ketika saya menanyakan di mana dia menyimpan bola itu.).
“Ani, Yanti, Akmal, Rara, Kak Isda, Eka, Sukma, Kak Sul, Era………….” Begitu seterusnya hingga setiap peserta dan panitia mendapat kesempatan beberapa kali melempar. Dan, sebagian besar nama sudah masuk ingatan.
Setelah sesi Name & Throw ini, Nur Isdah, seorang fasilitator melanjutkan. Agaknya Isda kurang siap. Dia menggunakan cara ‘lama’ untuk membagi peserta ke dalam lima kelompok; yaitu peserta secara berurutan menghitung satu sampai lima berulang hingga seluruh peserta punya nomor, dan nomor yang sama kemudian berkumpul. Cara ini sudah terlalu sering digunakan fasilitator. Pada workshop kedua yang diadakan sebagai latihan terakhir bagi fasilitator, kami berjanji untuk menghindari cara klasik ini.
“Sekarang, kita memasuki sesi perkenalan kedua. Nama acaranya ‘River of Life’. Tolong buat gambar sungai. Nah, andaikan sungai itu adalah alur hidup kalian. Berilah tanda di sungai itu, yang merupakan kejadian-kejadian penting dalam hidupmu. Saya kasi waktu 5 menit!. Setelah itu berkumpul dengan kelompok dan jelaskan gambar masing-masing ke teman kelompok. Kakak panitia tolong juga ikut.”
Para peserta terlihat begitu menikmati sesi yang satu ini. Berganti-ganti mereka menjelaskan peristiwa-peristiwa penting dalam hidupnya. Hingga, terkadang ada yang lupa waktu. “Serasa ketemu teman lama!”, begitu batin seorang peserta dalam jurnal hariannya.
Sesi-sesi berikutnya juga berlangsung dengan suasana serupa. Kelas dibuat melingkar tanpa satupun meja, pakaian santai, banyak berpindah tempat, dan fasilitator sesekali bercanda. Bahkan, mengenakan sarung untuk menunjukkan bahwa di ruangan itu apa saja bisa dikenakan asal sopan. ‘Bukankah sarung kita kenakan untuk menghadap Tuhan, mengapa tidak boleh dikenakan juga untuk belajar?’, mungkin begitu pendapat para fasilitator. Yang penting adalah pelajaran yang dibawakan ‘masuk’ ke kepala peserta.
Memang, salah satu perhatian tim kerja Youth Camp adalah bahwa bagi sebagian besar peserta didik kita, ‘belajar’ adalah sesuatu yang meresahkan. ‘Belajar’ berarti harus meraih nilai tinggi, dan untuk itu segalanya harus ditempuh. Tentu saja, sebagian besar dari mereka tidak bisa memperoleh peringkat sepuluh besar. Karena dalam kompetisi hanya ada sedikit juara. Yang kalah jauh lebih banyak. Selanjutnya, jika tak berperingkat tinggi, hukuman sosial telah menanti, baik dari orang tua, kawan, dan guru.
Hal ini mengguratkan kesan mendalam bahwa ‘kelas’ adalah tempat menakutkan bagi sebagian besar peserta didik. Di sanalah mereka—sadar atau tidak—dipermalukan (Tentu saja ini tidak berlaku bagi sedikit peserta didik yang terus mendapat peringkat atas). Dan itu merambat ke kata ‘belajar’. Jika mendengar kata ini, sebagian besar siswa langsung merasa seperti ditimpakan beban berat.
Dengan mekanisme seperti ini, ‘belajar’ bukan lagi untuk mendapatkan pelajaran atau ilmu, tetapi lebih utama untuk memperoleh nilai, apakah pelajaran masuk atau tidak, itu tidak penting lagi.
Karena itulah panitia berusaha menciptakan suasana belajar yang menyenangkan.
Untuk membekali peserta dengan perangkat penelitian, mereka mengikuti sesi teknik observasi, teknik wawancara, dan teknik menulis. Semuanya berlangsung dengan didominasi simulasi praktek. Ambil contoh, untuk teknik observasi mereka diminta mengamati ruangan aula selama beberapa menit kemudian menuliskan hasil pengamatannya lalu dibacakan dan mendapat masukan-masukan. Sementara untuk teknik wawancara, peserta bersimulasi dengan bergiliran mewawancarai pasangannya dan kemudian saling memberi masukan, di samping masukan dari fasilitator sesi ini yang sudah berpengalaman.

Keberangkatan
“Halo..Halo..” teriak seorang peserta sambil menutup telinga kirinya untuk menghindari bising bus, telepon genggam di kanan.
“Sinyalnya sudah mau habis.” Teriaknya lagi, “nanti saya telpon lagi.” “Halo..haloo.”
Demi mengetahui sinyal telepon genggam akan habis, mereka berlomba-lomba menelpon ke kawan atau keluarga.
Pagi itu, 4 Januari 2004, barang dikepak, dinaikkan ke bus, dan deru mesin serta asap bus mengiringi keberangkatan mereka ke desa Pao, Kabupaten Gowa, sekitar 90 Km dari Makassar. 23 perserta dan 5 panitia sebagian panitia telah berangkat sehari sebelumnya. Panitia ini ada dua macam. 5 orang adalah fasilitator, yang berperan merancang seluruh piranti lunak kegiatan ini, mulai dari seleksi peserta, merancang acara, hingga menjadi pendamping selama proses penelitian dan penulisan laporan peserta. Sedangkan 5 orang lainnya adalah supporting staff, staf pendukung, yang berperan mengurus seluruh persiapan, menyiapkan seluruh kebutuhan, sebelum, selama dan setelah kegiatan. Staff pendukung ini, khususnya Anna dan sekertarisnya Armin, telah bekerja setengah tahun sebelum acara dimulai.
Kembali ke perjalanan.
Sepanjang perjalanan mereka terus bertanya-tanya, seperti apakah desa yang akan mereka tempati. Sebagian malah begitu gugup, bagaimana mereka nanti akan menyesuaikan diri dengan keluarga angkat, dengan kehidupan desa.
Pukul 11.30. kami singgah di makan siang di Malino. Menghirup udara sejuk di pekarangan Pesanggerahan sungguh sebuah oase. Dari tempat peristirahatan yang dibangun tahun 1920-an oleh pemerintah kolonial Belanda ini, kita dapat melihat lembah yang dipenuhi sawah yang di sampingnya mengalir sungai. Di sebelah, terlihat juga bukit hijau yang ujungnya menjorok ke barat. Sementara, di kejauhan terlihat kota Makassar, yang dulunya hanyalah dataran delta di antara dua anak sungai besar Je’ne’berang.
Peserta bertebaran di taman berkelompok-kelompok di sana-sini mencari tempat paling nyaman bagi mereka untuk menikmati santapan siang itu. Betapa Pesanggarahan masih menyisakan masa jayanya. Taman ini dipenuhi mainan anak-anak, ayunan, prosotan, jungkat-jangkit dan lainnya. Semuanya khas playground yang selalu ada di setiap neighborhood di negara-negara maju.
Malam sebelumnya, di LEC Antang, peserta diminta memilih perwakilan peserta yang akan menjalankan tugasnya selama kegiatan. Mereka menentukan dulu berapa jumlah perwakilan yang akan dipilih. Kemudian menetapkan akan memilih dua, satu putra dan satu putri. Mereka kemudian mengajukan beberapa nama, dan menetapkan, lagi-lagi lewat konsensus, dua orang sebagai perwakilan mereka. Satu orang putra dan satu putri. Yudi Adnan,.Siswa kelas 2 SMU Neg.13 dan Nur wahidah, Siswi SMU Neg.3, keduanya dari Makassar.
“Inilah pemilihan paling pertama dan sekaligud paling demokratis yang saya lakukan”, “Saya puas. Mereka cocok”, “Saya senang”. Itulah diantara petikan jurnal harian peserta menganggapi hasil pemilihan yang mereka laksanakan. Sebuah pembelajaran demokrasi yang cukup efektif.
Salah satu tugas perwalikan ini adalah menjadi contact person, penyambung informasi dari dan ke panitia. Tugas pertama mereka adalah berusaha mengumpulkan kawan-kawannya untuk naik ke bus dan melanjutkan perjalanan dari Malino ke Desa Pao. Dan tugas ini berjalan baik.
“Hitung”
“Cukup?”
“Cukuuup”
“Berangkaat”
Perjalanan pun dilanjutkan

“Lihat itu” tunjuk seorang peserta ke luar jendela bus. “Masih ada”
“Mana?” yang lain bergeser ke dekat jendela
“Itu..”
“Horeee” teriak yang lain mengumunkan ke seluruh penumpang “Tiang listriknya masih ada”
Selama proses wawancara, mereka ditanya ‘apakah kalian sanggup bertahan di desa yang kemungkinan tidak punya listrik atau WC?’. Tentu saja semua yang ada dalam bus telah menjawab “Ya”. Jadi, mereka ingin membuktikan apakah pertanyaan kami itu betul. Sejak melewati Kanreapia, desa tertinggi di Sulawesi Selatan (1600 m di atas permukaan laut), mereka dengan intens memperhatikan satu per satu tiang listrik hingga bus tiba di desa Pao. Betapa mahal harga pengetahuan.

Desa Pao
“Kita tiba lebih cepat” kata Anna sang koordinator, kepada panitia lain “bagaimana ini”
“Ya, tunggu saja” jawab Ary.
Maka, di kantor desa kami menanti sekitar satu jam sebelum para warga yang menjadi induk semang berdatangan (dalam program ini lebih dikenal dengan istilah Orang Tua Angkat).
Kantor desa terletak di tengah desa yang terletak memanjang di tepi-tepi bukit. Dari kantor ini kita sebagian peserta dan panitia menikmati pemandangan yang menakjubkan. Di belakang kantor desa, lembah curam yang lebih mirip jurang yang berakir di sebuah sungai besar lalu di seberang sungai lembah merambah keatas membentuk bukit yang lenih tinggi dari bukit yang dibanguni kantor desa ini. Kaki dan badan bukit sebelah itu hampir tertutupi oleh teras iring yang sedang menghijau di musim hujan ini. Di bagian puncak, rimbun pohon pinus menghijaukan pandangan dan membentuk kontras dengan warna langit. Burung-burung melayang-layang di lembah di bawah sana, dan gemuruh dari air terjun yang tidak terlihat menutupi suara satwa itu. Sebuah lukisan yang sungguh indah.
“Inne alloa, dalle inne napabattuangki Puang Alla Taala ri Desa Pao” (Hari ini Allah Swt mendatangkan rezeki kepada Desa Pao), dengan datangnya adik-adik kita peserta dan panitia Youth Camp 2004..” begitulah pembukaan sambutan Bapak Najamuddin Kepala Desa Pao. Warga terlihat cerah, mereka tersenyum penuh tanya, sambil memandangi para peserta yang duduk di lantai di hadapan mereka. Mungkin dalam hati mereka bertanya “anak yang manakah akan tinggal di rumah saya?”.
“Kami berharap, Bapak-bapak Ibu-ibu memperlakukan mereka bukan sebagai tamu, tetapi seperti anak sendiri. Pokoknya, Apa yang biasanya Bapak-bapak Ibu-ibu makan, itu jugalah yang diberikan pada adik-adik.”
Setelah acara penerimaan ini mereka ‘pulang’ ke rumah masing-masing. Dan mulailah petualangan di desa Pao.
Reaksi pertama peserta adalah cuaca yang sejuk, bahkan bagi sebagian besar peserta masuk dalam kategori dingin. Setiap hari, hampir di seluruh jurnal akan terbaca keluhan tentang dinginnya cuaca, menusuk ‘hingga ke tulang’, tentang bagaimana mereka dengan susah payah memaksakan diri untuk mandi pagi. Namun begitu, anak-anak kota ini mengagumi keindahan dan keaslian alam desa.
Sebaliknya, penduduk desa menerima mereka dengan senang namun agak heran. Ary cerita pada saya, dia bertemu seorang penduduk yang bertanya-tanya mengapa anak-anak kota ini mau-maunya datang ke desa. “Dia begitu bersemangan ketika diwawancarai. Bagaimana tidak, mereka jauh-jauh dari kota datang menanyai hal-hal tradisional yang sudah tidak lagi diperhatikan warga setempat”.
Desa ini terletak di perbatasan Gowa dan Bone, dan tidak jauh dari kaki Gunung Bawakaraeng. Karena itu mereka sering kedatangan mahasiswa pencinta alam. Mereka jadi terbiasa berinteraksi dengan orang-orang kota. Mereka tidak canggung dan berkomunikasi tanpa hambatan bahasa. Tidak heran, beberapa pemuda di desa akhirnya bersedia menjadi guide bagi peserta yang hendak bepergian ke lokasi yang cukup jauh. Padalah, ketika di Makassar kami panitia pusing bagaimana mengajak pemuda desa untuk terlibat, dan dalam kapasitas sebagai apa.
Pemandangan indah dengan air terjun, sengkedan yang melekat di sisi perbukitan, sungai deras, cuaca sejuk, tentu menyisakan ruang kosong untuk kita nikmati, untuk merenung. Dan ini membuat sebagian peserta menderita homesick. Pelepasannya macam-macam, ada yang menulisnya di jurnal harian, menangis di tengah sesi diskusi, atau, yag paling popular, lari ke Wartel di pasar terdekat, meski kadang wartel tidak berfungsi karena satelitnya tidak mampu menangkap sinyal yang dikacaukan iklim. Ada juga yang ke wartel dengan maksud lain. Dia berulang-ulang ke sana untuk mengecek peringkatnya di kelas.
Itulah Desa Pao, setidaknya bagi kami, panitia dan peserta Youth Camp 2004.

Belajar dari orang desa
Salah satu peraturan program yang senantiasa panitia ingatkan adalah meluangkan waktu bersama orang tua angkat. Hari pertama kami tiba, semua harus berada di rumah keluarga angkat masing-masing. Di samping beristirahat, mereka juga dapat berkenalan lebih dalam dengan keluarga angkat. Kami, panitia, tidak ingin mereka hanya bergerombol sesama peserta dan menjadi orang asing di desa.
Keakraban yang tercipta tidak hanya baik untuk kepentingan penelitian, tetapi juga untuk mulai menanamkan empati para kaum muda ini kepada orang desa. Mereka dapat merasakan secara langsung, dari tangan pertama, kehidupan orang desa.
Dalam waktu beberapa jam, peserta telah mampu melakukan sosialisasi dengan baik. Sore harinya mereka sudah terlihat berjalan bersama keluarga angkat masing-masing di beberapa bagian desa. Ada yang bersama adik angkat, ada juga bersama orang tua angkatnya.
Selama setengah hari itu, mereka mulai mereka-reka isu penelitian yang akan mereka dalami (meski tidak mungkin terlalu dalam mengingat waktu yang cukup singkat). Dalam kecenderungan penilitian lapangan moderen, fokus penelitian ditentukan oleh keadaan lapangan, tidak dibuat sebelum penelitian berlangsung di ruang kerja, di kota, tanpa melihat keadaan lokasi penelitian. Cara ini terutama banyak digunakan pada penelitian etnografi. Beberapa aspek penelitian etnografi terapan ini kelak ‘dicangkok’ Robert Chamber, untuk membentuk metode penelitian partisipatif yang sangat terkenal Participatory Rural Appraisal (PRA).
Prinsip lain yang kami tekankan adalah “kalian datang ke desa adalah untuk belajar dari orang desa. Mereka adalah guru-guru kalian. Maka lihatlah, ikutilah dan tanyailah mereka.” (prinsip ini juga banyak dipengaruhi pemikiran-pemikiran Robert Chamber).
Suatu malam setelah seharian berkeliling desa Ary berceritera. Tadi kelompokku mewawancarai ‘Punggawa Air’. seorang anggota kelompok bertanya
“Apa peran pemerintah dalam hal pertanian di desa ini?”, nara sumber ini menjawab “Penyuluhan”.
“Seberapa sering.”
“Jarang sekali.”
“Kenapa?”
“Karena petugas penyuluh pertanian tidak percaya diri”
“Kenapa bisa begitu pak”
“Karena mereka hanya tau teori. Sedangkan petani belajar dari pengalaman.”

Kawan Seperjuangan
Dalam melaksanakan penelitian peserta di bagi ke dalam lima kelompok; pertanian, pendidikan, masyarakat lokal, ekonomi dan kesehatan. Setiap peserta boleh memilih ke lima kelompok ini, namun harus di sesuaikan dengan jumlah peserta. Peserta, dipimpin Ibu suku dan Bapak Suku, melaksanakan pemilihan kelompok sendiri.
Untuk pemilihan kelompok, mereka hanya diberi batasan bahwa jangan sampai terjadi penumpukan peserta di satu kelompok, sehingga kelompok lain tidak mempunyai cukup peserta. Bahwa kelompok-kelompok penelitian ini hanya merupakan ‘batu loncatan’ untuk meneliti lebih dalam nantinya. Jadi, tidak perlu terlalu fanatik pada kelompok tertentu, karena memang setiap bidang selalu berkaitan. Misalnya, keadaan ekonomi dapat diteliti lewat tingkat pendidikan, kesehatan, pertanian, dan sebagainya, begitu pula sebaliknya.
Cukup lama juga waktu yang mereka perlukan untuk sesi ini. Ini karena masih ada di antara peserta yang ‘tidak rela’ bergabung ke kelompok yang kurang diminatinya, meski berulang kali panitia menjelaskan betapa seluruh bidang itu berkaitan, dan mereka bebas memilih topik penelitian untuk menghubungkannya ke bidang yang diinginkan.
Akhirnya mereka berhasil memilih kelompok penelitian; lima orang di kelompok pertanian, masyarakat lokal dan kesehatan, dan empat orang di kelompok ekonomi dan pendidikan. Mereka kemudian memilih tema penelitian masing-masing. Setiap peserta dengan tema masing-masing. Tema ini mereka angkat berdasarkan ketertarikan masing-masing dan hasil pengamatan sejak mereka tiba di desa ini sehari sebelumnya. Di kelompok pendidikan misalnya, seorang peserta meneliti tentang anak putus sekolah, yang lain meneliti pendidikan informal (pengajian), proses belajar mengajar dan tentang motif menyekolahkan anak.
Tidak sulit bagi mereka untuk mengatur pertemuan dengan warga desa karena mereka telah diterima sebagai tamu di desa ini. Meski sebagian peserta mengeluhkan perlakuan istimewa induk semang terhadap mereka yang ‘terlalu baik’. “Kalau saya belum pulang, orang di rumah belum makan, dan kalau mereka belum makan, anak-anaknya apalagi, pasti mereka kelaparan”. Juga ada yang menyayangkan karena mereka tidak dibiarkan mencuci piring setelah makan, meski sebagian berhasil ‘memaksa’ orang di rumahnya membiarkan mereka mencuci piring.
Selama penelitian supporting staff bekerja mempersiapkan seluruh logistik penelitian, mengunjungi rumah-rumah penduduk, dan mengantar dengan mobil sewaan panitia, kelompok yang hendak mengadakan wawancara yang jaraknya agak jauh dandapat ditempuh mobil, misalnya di ibukota kecamatan. Sementara itu para fasilitator mendampingi kelompok masing-masing. Setiap malam diadakan briefing panitia di mana seluruh permasalahan seharian di bahas dan dicarikan solusinya.
Salah satu yang mengemuka adalah catatan penelitian. Tahun lalu, peserta diberi tugas untuk membuat catatan kolektif, satu untuk satu kelompok. Namun cara ini tidak efektif, karena dalam penulisan laporang, meski peserta di lebur dalam kelompok penulisan yang anggotanya dari kelompok-kelompok lain., laporan mereka hampir seragam. Setiap anggota membawa hanya satu laporan dari kelompok masing-masing sebagai bahan penulisan. Sehingga setiap kelompok menggenggam catatan-catatan lapangan yang seragam. Dari pengalaman ini kami putuskan untuk menugasi mereka membuat laporan probadi, dan setiap hari setelah menyebar mencari data, mereka harus berkumpul untuk berbagi temuan masing-masing.
Selama meneliti tidak sedikit rintangan yang mereka harus lalui, mulai dari yang paling sepele seperti di kejar anjing, atau menginjak ‘ranjau darat’ alias tahi sapi. Ada juga yang diusir informan di pasar. Ceritanya, waktu kelompok pertanian mulai menanyakan harga-harga pestisida pada penjualnya, tanpa memperkenalkan diri, pada saat pembeli lagi ramai. Alhasil, merekapun diusir. Ada juga yang membuat gusar informan sampai diancam dilempari tomat.
Masalah lain adalah jadwal. Yang paling ketiban sial adalah kelompok pendidikan. Selama Youth camp berlangsung, seluruh sekolah sedang libur. Jadi mereka harus mengandalkan wawancara untuk mengetahui keadaan sekolah. Kelompok kesehatan masyarakat juga mengalami kesulitan karena bidan yang menjadi narasumber mereka sedang ke Makassar untuk mengikuti sebuah pelatihan. Kelompok pertanian pun mengalami nasib yang sama. Ketika mengunjungi Kantor Penyuluh Pertanian di Desa Kanreapia, tiga puluh menit dengan mobil dari desa Pao, kantornya kosong melompong, padahal waktu baru menunjukkan pukul 9 pagi di hari kerja.
Yang paling berkesan mungkin adalah pengalaman ke dusun terpencil Bangkeng Batu. Untuk ke sana mereka harus naik turun gunung dan menyeberangi jembatan gantung.yang hanya bisa dilewati satu orang sementara di bawahnya arus sungai begitu deras. Setelah seharian melewati segala kesulitan ini, mereka menjadi ‘kawan seperjuangan’ (begitu sebutan mereka dalam jurnal harian).

Competition No Cooperation Yes
Persolan lain yang muncul adalah ‘hawa’ kompetisi di antara kelompok. Terdengar selentingan bahwa ada peserta yang tidak membiarkan kelompok lain dengan mudah mengakses informasi tertentu. Hal ini mungkin dilakukan untuk ‘memenangkan’ kelompoknya.
Fenomena ini tidak mengherankan mengingat iklim ‘pendidikan’ kita amat menganjurkan kompetisi. Meski sebenarnya ‘pendidikan’ seperti ini ternyata kurang mendidik. Dalam buku Nobody left to hate, Elliot Aronson menceritakan bagaimana persaingan antar clique (kelompok) di sebuah sekolah di Columbine, Amerika, berakhir dengan pembantaian sesama siswa. Menewaskan tak kurang …orang siswa. Sebuah tragedi nasional yang memicu banyak polemik di negeri adidaya ini.
Kompetisi hingga kini masih dipercaya dapat melecut kemampuan orang. Namun yang terjadi tidak hanya sampai di situ. Berbagai kalangan, misalnya sudah tidak tahu lagi tujuan awal kompetisi matematika. Untuk apa ilmu matematika sebagus itu nantinya bagi kemaslahatan orang banyak. Karena setelah mereka juara, segala kemewahan akan berdatangan dan mereka akan melupakan orang lain, apalagi saingannya. Jadi, setelah pertandingan usai, yang kalah dapat apa? Ke mana mereka? Masih tersisakah perhatian buat mereka? Apa yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas mereka kalau semua mata tertuju pada sang pemenang? Padahal dalam kehidupan nyata justru yang kalah inilah yang terbanyak.
Kami, panitia, bukan tidak mengantisipasi hal ini. Di samping perlakuan yang adil kepada seluruh peserta, kami juga sengaja mengadakan sebuah game untuk menyadari pentingnya kerjasama, yaitu Bujur Sangkar Berantakan. Masing-masing kelompok yang terdiri dari empat orang dibagikan kepingan-kepingan kertas untuk mereka susun menjadi bujur sangkar. Hasil idealnya adalah setiap anggota kelompok berhasil menyusun bujur sangkar masing-masing.
Dalam menjalankan permainan ini perserta tidak boleh berkomunikasi dalam bentuk apapun, tidak boleh mengambil kepingan dari anggota kelompok lain, dan tidak boleh saling membantu. Mereka hanya boleh mengutak-atik kepingan masing-masing dan memberi kepingan ke anggota kelompok lain. Selama permainan ini berlangsung setiap kelompok diawasi oleh seorang pengamat yang mencatat tingkah laku masing-masing anggota kelompok.
Hasilnya, ada yang menumpuk kepingan dan asik sendiri menyelesaikan bujur sangkarnya. Ada juga yang dengan cepat menyelesaikan bujur sangkarnya dan tidak lagi bersedia membongkarnya untuk membantu kawan. Namun, ada juga yang bersedia berkorban hingga untuk beberapa menit tak memegang kepingan sama sekali. Dan, paling banyak adalah yang melanggar aturan.
Ternyata permainan ini cukup berkesan bagi peserta, terbukti banyak yang menuliskannya dalam jurnal harian. “Bujur sangkar dihadapanku ndak jadi-jadi. Aku liat teman, yang bujur sangkarnya udah jadi pada egois, cuman melongo, sweet smile…But, aku dapat pelajaran berharga…kalo aku nggak boleh pasrah, try.” Begitulah ungkapan seorang peserta di jurnal hariannya. Sementara yang lain menulis “Dari permainan ini ada banyak yang dapat ditarik kesimpulan tentang kerja sama, yaitu kerja sama akan sulit terjalin bila tidak ada komunikasi antar kelompok dan saling tertutup. Permainan ini juga menyadarkan kita semua akan pentingnya kerjasama yang baik dan saling mengoreksi diri, apa kukarangan kita dalam kerjasama tim.”
Setelah menjelaskan hikmah di balik permainan ‘bujur sangkar berantakan’ ini Nur Isdah menutupnya dengan kalimat pamungkas: Competition No Cooperation Yes.

Awal sebuah Akhir
Pesanggrahan, sebuah penginapan tua yang dibangun pemerintah kolonial di tahun 20-an, menjadi saksi bagaimana peserta menulis laporan penelitian. Waktu itu malam minggu, dan ini sangat mengkhawatirkan bagi kami panitia. Sudah jadi pengetahuan umum kalau malam minggu akan mengubah kota mini nan sunyi ini menjadi ajang pesta kaum muda yang datang berduyun-duyn dari kota, khususnya Makassar.
Namun, di luar dugaan, peserta kelihatannya lebih tertarik berkutat di depan komputer dan berdiskusi untuk menyelesaikan laporan masing-masing yang jatuh tempo esok harinya. Mereka terlihat begitu serius, padahal, paginya mereka baru saja meninggalkan Desa Pao dengan derai air mata di kedua belah pihak, mereka dan penduduk. Mereka menjadi satu, larut dalam rasa haru dan kehilangan.
Seperti biasanya, penulisan bukanlah hal mudah bagi anak sekolah kita. Pendidikan kita hanya mengajarkan hapalan. Bagaimana mengumpul data, kemudian menyusunnya, merajutnya, mencari abstraksi dan sintesa untuk kemudian menghasilkan tulisan yang orisinil dan sistematis adalah hal yang sama sekali alpa di sekolah-sekolah kita. Untuk itu, kami harus memulai dari awal, dan harus puas dengan apapun hasilnya. Kami hanya menekankan, ‘proses lebih penting dari hasil.’
Untuk mempelajari dan mempraktekkan semua itu, anak-anak muda ini ternyata punya energi berlebih. Mereka bekerja dari pagi hingga dini hari, dan itu berlangsung selama dua hari. Dan hari ketiga mereka mengadakan presentasi yang dihadiri warga desa dan undangan lain dari Malino. Presentasi mereka lakukan dengan berbagai cara. Kami hanya memberitahu bahwa “Kalian harus mempertimbangkan latar belakang pemirsanya. Cari cara yang paling menarik”, maka mereka pun bernyanyi, menggambar, membaca puisi, dan menampilkan lakon-lakon pendek untuk menyampaikan hasil penelitian mereka.
Wajah mereka berubah santai begitu presentasi selesai. Di sana-sini tawa, teriakan, canda, senyum, semua bersahut-sahutan. Mereka baru saja menyelesaikan sebuah babak dari hidup mereka yang masih panjang. Program sudah berakhir. Namun ini hanyalah akhir dari sebuah awal baru. Mereka akan berhadapan dengan hidup yang lebih rumit. Mereka adalah generasi yang tumbuh di tengah merebaknya fantasi yang kadang mampu melumpuhkan sensitifitas terhadap sesama.

Saturday, August 07, 2004

diskusi buku Totto Chan

kalau ada murid yang dikeluarkan dari sekolah, apa yang terlintas di benak Anda?

Hadiri diskusi buku Totto Chan: Gadis Kecil di Tepi Jendela di cafe baca biblioholic [Jl. Perintis Kemerdekaan VI No. 03 Makassar] Sabtu, 07 Agustus 2004 pukul 15.30.

telah terbit 'Sekolah Para Petualang'!



Selama meneliti tidak sedikit rintangan yang mereka harus lalui, mulai dari yang paling sepele seperti dikejar anjing atau menginjak ‘ranjau darat’ alias tahi sapi. Ada juga yang diusir informan di pasar. Ceritanya, waktu kelompok pertanian mulai menanyakan harga-harga pestisida pada penjualnya, tanpa memperkenalkan diri, pada saat pembeli lagi ramai. Alhasil, merekapun diusir. Ada juga yang membuat gusar informan sampai diancam dilempari tomat.

Itulah penggalan kisah para peneliti muda dalam program Youth Camp 2004 di Tombolo Pao, Kabupaten Gowa yang terdapat dalam buku dan film dokumenter ‘Sekolah Para Petualang’. Dapatkan segera melalui pemesanan ke 08164383583 atau ke rumah_kamu@yahoo.com.

ayo ke museum!



Rumah Kaum Muda bekerja sama dengan Media Kajian Sulawesi, Lembaga Kajian Budaya Ininnawa, UKM Fotografi UNHAS, Jurusan Sejarah UNHAS dan Museum Kota Makassar mengadakan ‘ Pameran Foto Sejarah Makassar & Soppeng 1900-1950 ‘pada hari Jumat 30 Juli – 01 Agustus 2004. bertempat di Museum Kota Makassar, Jl. Balaikota 11A Makassar mulai pukul 09.30 – 16.00 Wita. Pameran ini merupakan rangkaian akhir dari program ‘Ayo ke Museum’ yang telah dilaksanakan sejak tanggal 30 Juni 2004. Tujuan dari Program ‘Ayo ke Museum’ ini adalah untuk memperkenalkan sejarah Makassar paruh pertama abad ke-20, mempromosikan media-media penyimpan sejarah serta menumbuhkan kreatifitas dan kesadaran sejarah kepada generasi muda. Hal ini mengingat kesadaran kaum muda terhadap sejarah sangat kurang serta metode penyampaian pelajaran sejarah yang cenderung monoton dan monolog. Pameran ini merupakan karya dari beberapa siswa-siswi SMU alumni Youth Camp 2004, yaitu program pendidikan alternatif dalam bentuk pelatihan penelitian lapangan yang dilaksanakan oleh Rumah Kaum Muda secara tahunan. Rangkaian acara sebelumnya, telah dilaksanakan Orientasi Sejarah di Museum Kota Makassar pada tanggal 30 Juni – 2 Juli dengan pembicara antara lain DR. Edward Poelinggomang (pakar sejarah), Dra. A. Ima Kesuma, IC, M.Pd (Kepala Museum Kota) dan UKM Fotografi yang meliputi materi pengenalan sejarah, teknik pengumpulan informasi sejarah dan teknik dokumentasi & display. Orientasi yang sama juga dilakukan di Kab. Soppeng pada tanggal 6-7 Juli 2004. Tahapan selanjutnya adalah pengumpulan materi, pengolahan bahan dan terakhir pameran. Bersamaan dengan Pembukaan Pameran, juga dilaksanakan Peluncuran Buku & Film Dokumenter Youth Camp ‘Sekolah Para Petualang’. Buku dan Film Dokumenter tersebut menceritakan pengalaman dan hasil laporan Youth Camp 2004 yang dilaksanakan di Desa Pao, Malino, Kab. Gowa pada tanggal 3 – 12 Januari 2004.