Berikut adalah catatan dari Alumni YC07 Fikri, oleh-oleh sewaktu ada kegiatan Indonesia Youth Media Camp di Tembi, Jogja... Tulisannya ini dimuat di Media Online Panyingkul! Bisa juga di baca di
sini.................................................................
“Indonesian Youth Media Camp mempersembahkan, sebuah Radio Diary…Radio Diary,” demikian terdengar suara perempuan yang nampaknya seorang penyiar radio. Cara berbicara perempuan itu riang menghias malam yang dingin di ruang makan Rumah Budaya Tembi, Bantul, Yogyakarta. Sebentar lagi, rekaman suara kami dalam bentuk
testimonial radio diary akan dikumandangkan. Kami, para peserta yang terlibat dalam pembuatannya, merasa kurang percaya diri. Mungkin karena ini merupakan pengalaman pertama kami memproduksi program seperti itu. Berbeda dengan mereka yang sudah biasa terlibat produksi film indi atau dokumenter, tentunya tidak segugup kami yang para pemula ini.
Rasa gugup itu semakin kami rasakan karena sebelum karya tiap kelompok diputar, sebelumnya para ”produser” harus menyampaikan kesan dan pengalaman yang didapatkan saat proses membuat karya kelompok tersebut kepada para peserta lain dan juga para merntor dan panitia acara yang berjudul ”Indonesian Youth Media Camp 2008” itu. Selain itu, tentu turut juga menyimak, mereka yang bekerja di rumah makan tersebut. ”Wadduuh... kelompokku yang pertama, lagi!” ujar Teja, peserta dari komunitas Forum Anak Cirebon, mewakili perasaan kami yang rupanya sama-sama tegang. Untungnya, ketegangan itu kemudian bisa mencair dan berubah menjadi suasana yang sangat menyenangkan, sebab terjalin keakraban antara para peserta yang rupanya senang melucu satu sama lain
Setelah pemutaran video diary dan radio diary, saatnya tim Komite Muda menjelaskan mengenai Indonesian Youth Media Festival 2008 yang akan berlangsung keesokan harinya. Bertempat di Taman Purawisata, Yogya, acara yang digelar pada 9 Juli 2008 yang diselenggarakan oleh Tim Komite Muda yang pernah mengikuti beberapa program "Kampung Halaman", dapat diikuti gratis oleh para pengunjung Taman Purawisata. Namun sayang, karena peserta umumnya sudah cukup letih usai melakukan perjalanan wisata di pagi harinya hingga menjelang petang, mulai dari mengunjungi Candi Prambanan, Istana Keraton dan juga Malioboro, penjelasan itu tak begitu disimak akibat rata-rata sudah didera rasa ngantuk.
IYMCF 2008Indonesian Youth Media Camp & Festival 2008 merupakan bengkel kerja “melek media” yang diadakan organisasi “Kampung Halaman” yang berlangsung selama delapan hari, tanggal 2 – 9 Juli 2008 dan berlokasi di Yogyakarta. Program ini terdiri atas dua bagian, yaitu Indonesian Youth Media Camp (IYMC) dan Indonesia Youth Media Festival (IYMF). Lokasi dan tanggalnya pun tidak sama. Untuk IYMC, kegiatannya dimulai dari 2 – 8 Juli 2008, bertempat di Rumah Budaya Tembi, Bantul. Sedangkan IYMF berlangsung hanya dalam sehari, yaitu 9 Juli 2008, di Taman Purawisata. Kedua lokasi ini masih dalam wilayah D.I. Yogyakarta.
Tema besar dari program ini yang tujuannya mempertemukan berbagai komunitas remaja yang tersebar di seluruh Nusantara ini adalah
Ayo Berbagi Cerita. Diharapkan, para pserta secara merdeka dapat menyampaikan pemikiran masing-masing tentang kehidupan sekitar melalui media. IYMCF mengharapkan agar para remaja tidak lagi menjadi konsumen pasif media yang selama ini biasanya menjadi subyek yang memproduksi citra tunggal bersifat konsumtif tentang mereka. Untuk itu, para remaja perlu diberi bimbingan oleh para mentor profesional tentang bagaimana menyampaikan cerita dan pemikiran melalui lima media yang dalam acara ini disebut
video diary, radio diary, koran komunitas, blog, dan
My Motto T-Shirt sebagai image tandingan dari image remaja hideonis di media mainstrem selama ini.
Video diary adalah video yang ceritanya berangkat dari pengalaman dekat para peserta. Pengalaman dekat maksudnya segala sesuatu yang mereka lihat, dengar, dan rasakan setiap hari di lingkungan sekitar. Secara teknis tidak berbeda dengan film dokumenter. Di video diary para peserta belajar tentang penggunaan kamera, teknik pengambilan gambar, penulisan naskah, ataupun editing. Sedangkan radio diary merupakan sebuah program radio yang ceritanya juga berangkat dari pengalaman dekat peserta. Di kelas ini, para peserta belajar bagaimana menciptakan
theater of mind, menulis naskah yang menarik, teknik menggunakan alat perekam, cara mengatur nafas saat merekam suara, intonasi,
sound effect, ataupun editing.
Mulanya, mayoritas dari 31 peserta dari 17 komunitas memilih kelas video diary. Ini karena ada beberapa komunitas yang kedua perwakilannya memilih kelas ini, termasuk saya dan Kak Windah yang sama-sama berasal dari satu komunitas, yakni Rumah Kamu (Rumah Kaum Muda). Namun agar seimbang, harus ada yang mengalah beralih ke radio diary. Ada beberapa peserta yang
suit atau dalam bahasa Makassar disebut
pus untuk menentukan siapa yang harus pindah. Tentu yang kalahlah yang harus pindah ke kelas radio diary.
Kami yang mengikuti kelas radio diary, cukup bisa menikmati materi yang diajarkan. Banyak hal baru yang kami dapatkan yang membuat kami betah dan menikmati belajar di kelas ini. Salah satu penyebabnya mungkin karena saat pertama kali di kelas ini, para mentor memutarkan beberapa contoh rekaman yang cukup menarik dari radio diary yang telah diputar di stasiun-stasiun radio.
Selanjutnya kami dilibatkan secara aktif dalam pelajaran. Sebelum membuat radio diary, setiap kelompok harus menentukan tema cerita mereka. Kelompok saya terdiri dari Widya (Cirebon), Sukron (Indramayu), Danang (Jogja), saya dan seorang fasilitator pendamping bernama Saiful. Tema kelompok kami saat itu adalah ’bertanggung jawab pada diri sendiri’
Para PesertaSeperti yang telah disinggung sedikit di atas, para peserta yang mengikuti program yang pertama kali diadakan ini berasal dari 17 komunitas dari berbagai daerah di Indonesia. Kebanyakan peserta merupakan pelajar SMU, selebihnya pelajar SMP, mahasiswa, dan ada juga yang tidak sekolah. Setiap komunitas membawa 2 perwakilan pesertanya. Jumlah peserta semuanya 31 orang. (Ada 3 komunitas yang masing-masing hanya membawa seorang perwakilannya).
Selama seminggu lebih sehari kami bersama, saya mendapatkan teman-teman yang masing-masing memiliki karakter, keunikan, bakat, dan kisahnya sendiri. Misalnya saja salah satu rekan yang ternyata termasuk jenis manusia unik, karena sejak kecil hingga kini suka makan sabun mandi, dan tak terjadi sesuatu yang membahayakan kesehatan dirinya. Adapula rekan peserta yang ternyata sudah pernah menjadi penyiar radio. Namanya Sukron, ia jadi penyiar di Sanggar Teratai. Ia mengaku pernah tinggal di Jakarta selama dua tahun lantaran kabur dari rumah. Alasan sebenarnya adalah hal yang klasik, yaitu hambatan ekonomi. Ia ke ibukota tanpa uang sepeserpun. Ia hanya membawa gitar yang dipinjamnya dari seorang teman. Dengan modal itu, ia menumpang bis dari Indramayu ke Jakarta sambil mengamen. ”Kan kalau pengamen gak usah bayar,” ungkapnya.
Selain dua yang unik di atas, ada pula peserta yang datang dari rimba. Tepatnya dari pemukiman suku Anak Dalam di pedalaman Jambi. Mereka adalah Bekinya (19) dan Sepinta (18), perwakilan Komunitas Konservasi Indonesia – WARSI. Saat pertama berkenalan di kamar peserta, keduanya tampak canggung. Bukan mereka yang memperkenalkan diri. Abdul Rahman, fasilitator merekalah yang memperkenalkan keduanya kepada kami para peserta yang ada di situ. ”Mereka belum terlalu lancar berbahasa Indonesia. Jadi, sering-sering aja diajak ngobrol supaya akrab, ya!” pesan Abdul Rahman.
Banyak hal positif yang didapatkan para peserta dalam acara ini. Bukan sekedar materi yang memang sudah ditargetkan panitia untuk ditransferkan, tapi juga berbagi cerita yang sebenar-benarnya dari para peserta yang berasal dari daerah yang berbeda-beda. Sosok-sosok peserta dalam acara itu sepertinya bisa mementahkan imej hidonis yang dicitrakan kebanyakan sinetron Indonesia, sebagaimana motto panitia : ”Kami percaya di mana pun, anak muda adalah komunitas terpenting yang bisa menjamin keberhasilan proses regenerasi pengetahuan di masyarakat.”