" A different world can not be created by indifferent people, be different in the best way of possible and together we can make a difference! "

Friday, July 15, 2005

Sekolah Milik Siapa?

Oleh: Deny Suwarja

NINA, seorang calon siswi baru di sebuah SMP negeri. Tidak seperti siswa lainnya, Nina tidak merasakan kekhawatiran tidak diterima ketika dia mendafarkan dirinya ke SMP favorit di kotanya. Nina yakin 100 persen, bahwa walaupun NEM yang dia peroleh waktu di SD tak akan melewati passing grade yang ditentukan, dia pasti akan dapat masuk ke SMP tersebut dengan mudah.

Dia bercerita kepada teman-temannya bahwa keyakinannya dapat masuk ke SMP negeri itu dengan mudah, disebabkan karena dia mempunyai kerabat yang mengajar di sekolah tersebut. Dia bercerita, bahwa kerabatnya telah menitipkan dirinya kepada Kepala SMP bersangkutan dan kepada Panitia PSB, agar namanya tercatat sebagai murid yang lolos seleksi. Walaupun namanya tersebut tidak tercantum dalam siswa yang terdaftar, atau kalaupun terdaftar tetapi tidak lolos, dia pasti tetap dapat jatah kursi.

Nina menceritakan hal itu kepada Budi teman akrabnya, yang kebetulan juga bersamaan dengan dia untuk melanjutkan ke SMP yang sama. Budi tidak seberuntung Nina, karena Budi hanyalah anak seorang buruh tani. Sehingga orangtuanya tidak mempunyai daya dan kekuatan apapun untuk juga menitipkan dirinya agar dapat diterima di SMP tersebut dengan mulus seperti Nina. Getir dan pahit sekali perasaan Budi ketika mendengar cerita ceria dari Nina. Hatinya seperti ditusuk-tusuk, ketika mendengar kemudahan yang diperoleh Nina.

Namun Budi menyadari kelemahan dan ketidakmampuan orangtuanya. Dia hanya bisa bersabar diri dan menyerahkan semuanya kepada Tuhan. Dia yakin bahwa usahanya tidak sia-sia, dan dia yakin Tuhan Maha Melihat dan Maha Tahu, mana perbuatan yang lebih mulia, mana perbuatan yang benar. Biarlah pengadilan di akhirat kelak yang akan membuktikan.

Nina bisa tenang (walaupun tanpa kehormatan), karena dia dapat masuk dengan jaminan 100 persen. Kesaktian kerabatnyalah yang menjaminnya dapat duduk di kursi dan belajar dengan tenang di SMP tersebut. Berbeda dengan Budi, yang bila NEM-nya tidak memenuhi passing grade dia akan terjungkal, dan harus menerima kenyataan pahit untuk belajar di sekolah swasta. Sekolah yang dinilai selama ini sebagai the second school, baik dari segi mutu guru atau mutu pendidikannya. Sekolah swasta yang paling ditakuti oleh orangtuanya, karena biaya DSP bulanannya melebihi biaya di SMP negeri. Sekolah yang mau atau tidak mau harus ditempuh, yang justru biasanya oleh orang kebanyakan.

Jumlah siswa yang bernasib “mujur” tapi tidak jujur seperti Nina, sebenarnya lebih sedikit daripada jumlah siswa yang “jujur” tapi tidak mujur seperti Budi. Ironisnya, hal tersebut seperti mendominasi pada setiap tahun ajaran baru. Ada Nina yang puterinya pejabat “Anu”, Nina titipan dari anggota dewan, Nina yang anaknya tokoh masyarakat “Anu”, Nina yang cucu dari Kyai “Anu”, Nina yang anaknya aktifis “Anu” dan sebagainya.

Dari kenyataan di atas timbul pertanyaan, sekolah itu milik siapa? Sekolah yang seharusnya menjadi milik semua lapisan masyarakat atau public property, telah berubah menjadi milik pribadi alias private property. Sekolah yang seharusnya menjadi tempat masyarakat untuk mendapat pendidikan sewajarnya untuk menjadi manusia seutuhnya, berubah fungsi menjadi tempat segelintir orang yang merasa mempunyai kekuasaan untuk dapat memasukkan anak atau kerabatnya dengan mudah, dengan tidak pernah mempertimbangkan keadilan dan perasaan orang yang tidak mampu.

Sekolah yang seharusnya merupakan tempat untuk menjadikan siswa belajar bagaimana cara belajar (learning to learn) menggali nilai dan kompetensi diri, telah dipelintir menjadi bagaimana cara menggali ketidakbenaran. Siswa yang seharusnya diajari bagaimana melakukan (learning to do) hal-hal yang baik, telah terpeleset menjadi bagaimana melakukan ketidakbaikan menjadi “terlihat” seperti baik. Sekolah yang seharusnya menjadikan siswa dapat belajar bagaimana dia hidup menjadi dirinya sendiri (learning to be), dengan dasar kejujuran telah tergelincir menjadi bagaimana agar dia tetap hidup dengan segala cara, agar dia tetap mendapatkan kemudahan. Sekolah yang seharusnya mengajarkan kepada anak didiknya bagaimana mereka dapat hidup bersama dengan masyarakatnya atas dasar kesamaan hak dan keadilan (learning to live together), telah terhapus oleh pendidikan bagaimana menutup jati dirinya dengan ego lebih dari masyarakat lainnya, karena kekuasaan yang dipunyai kerabatnya.

Sekolah yang seharusnya menjadi milik masyarakat telah berubah kepemilikan menjadi milik kelompok tertentu yang memegang kekuasaan di lingkungan sekolah. Kita melihat dengan hati miris, bagaimana sekolah menentukan DSP alias Dana Sumbangan Pembangunan tanpa melalui rapat. Secara sepihak meminta kepada orangtua murid untuk melunasi DSP plus seragam batik, seragam putih biru/abu-abu, sepatu, atribut dan lain sebagainya, sekian ratus ribu. Dana terus berlanjut ketika anaknya telah resmi menjadi siswa sekolah tersebut. Ada MOS, iuran pramuka, hingga iuran perpisahan. Anehnya, dana tersebut tidak jelas pertanggungjawabannya!

Hal itu mungkin tidak bermasalah bagi orangtua murid yang mempunyai penghasilan tetap. Tapi, bagaimana dengan orangtua yang berperan sebagai buruh tani, pedagang asongan atau tukang beca? Haruskah anak-anak mereka tersingkir oleh kebijakan sekolah yang tidak bijak? Bukan hal yang aneh, kalau pada setiap tahun ajaran baru, pegadaian menjadi ramai oleh orangtua yang menggadaikan harta demi sekolah anak-anaknya. Bukan hal yang aneh pula, ketika sekolah telah menjadi pasar bebas tempat para kapitalis memperdagangkan jualan dan menuai keuntungannya.

Mungkin perjuangan dan pengorbanan orangtua tidak sia-sia, bila penggunaan dari uang hasil mandi keringat dan air mata tersebut sesuai dengan peruntukannya, atau sesuai dengan kualitas barang yang diterima anaknya. Kenyataannya? Ambil satu kasus sepatu hitam Warrior yang dipakai anaknya, yang tidak sampai 2 bulan sudah amburadul. Ketika penulis menanyakan hal itu, seorang guru yang bertanggung jawab atas pengadaan sepatu tersebut dengan enteng menjawab. “Wajar aja, kan harganya hanya dua puluh lima ribu perak. Jadi kualitasnya jelek seperti itu!”

Bila kondisi seperti di atas, yang hanya menguntungkan satu pihak tertentu saja, tanpa melibatkan kepentingan hajat hidup orang banyak terus berlanjut, di negeri yang katanya berdasarkan Pancasila ini, bukan hal yang aneh pendidikan kita peringkatnya akan terus terjun bebas ke peringkat yang lebih rendah lagi. Padahal kita ketahui saat ini, peringkat pendidikan kita di antara 12 negara Asia, sudah berada pada peringkat 12 alias paling bontot!***

* Deny Suwarja adalah aktifis milis MP2I (Masyarakat Peduli Pendidikan Indonesia) Bandung.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home